Revolusi Kedua?
Jika apa yang dikatakan Rhoma Irama benar, maka musik Dangdut di Indonesia sedang mengalami kemunduran. Menurutnya sejak tarian erotis menjadi suguhan utama di hampir setiap pertunjukan Dangdut, keberadaan musik itu mulai dianggap "mengganggu". Sebab itu ia dan Sonet 2 berambisi memperbaiki reputasi Dangdut di Indonesia. Oleh Sandra bader
Rhoma Irama bersama grup band Sonet 2: "Saya membentuk revolusi musik dengan mengubah Orkes Melayu menjadi dangdut." Slogan "Dangdut Tidak Pernah Mati", yang ditulis dengan huruf besar, segera menyambut pengunjung yang memasuki studio TPI di Jakarta selatan, Senin malam. Ketika pengunjung berjalan-jalan di sekitar studio sambil menunggu acara dimulai, mereka melihat sejumlah tokoh dangdut legendaris berbincang-bincang. Tampaknya reuni veteran dangdut dari tahun 70 dan 80an sedang diadakan.
Sebenarnya, para selebriti ini sedang berkumpul untuk mendukung dan mempromosikan seorang bintang baru di dunia dangdut. Mereka berkumpul untuk merayakan mulainya karir Ridho Rhoma dan band yang bernama Sonet 2.
Dengan peluncuran ini, Ridho melanjutkan jejak ayahnya, Rhoma Irama, yang dikenal sebagai ‘raja dangdut’. Melalui band Sonet 2, Rhoma dan Ridho berusaha menghembuskan nafas baru bagi musik dangdut, yang menurut mereka sudah sangat mundur.
Raja Dangdut
"Saya adalah pencipta dangdut." Inilah yang pertama kali dikatakan Rhoma ketika saya mewawancaranya, sebelum ia memulai cerita petualangan yang diawali segera setelah pembantaian anti komunis tahun 1965-1966 berakhir. Ketika itu, Rhoma Irama yang masih menjadi musisi muda memulai debut kreatifnya.
Terinspirasi oleh musik rock dan harmoni khas Melayu lewat Orkes Melayu, ia bereksperimen dengan menyatukan musik Melayu dengan elemen rock, elemen musik India serta Arab. Dengan gayanya yang baru dan energis ia menghidupkan musik Melayu dengan ritme cepat dan dinamis. Dengan inovasi ini ia menciptakan jenis musik yang dikenal dengan sebutan dangdut.
"Saya Pencipta Dangdut."
Dengan bandnya, Soneta Group dan dengan berpasangan bersama Elvy Sukaesih, Rhoma Irama menjadi musisi kontemporer Indonesia yang paling dikenal dan dijuluki raja dangdut. "Saya membentuk revolusi musik dengan mengubah Orkes Melayu menjadi dangdut," demikian dijelaskan Rhoma.
Menurut Rhoma, erotisme pada musik dangdut telah "mengganggu" penonton di Indonesia. "Siapapun yang melihat dangdut di TV akan segera mematikannya," ujarnya. Ritme baru, dengan lirik yang berisi beban hidup sehari-hari serta cinta, dan juga kritik sosial serta diskriminasi antar kelas menjadi sangat populer di seluruh Indonesia.
Sifat dangdut yang tidak membedakan kelas di masyarakat menjadi faktor menentukan bagi popularitasnya. Musik itu didengar di berbagai kalangan, menarik bagi sensibilitas orang Indonesia dan yang paling penting, mendemonstrasikan simpati bagi dunia kerja masyarakat kelas bawah.
Namun simpati kepada kalangan bawah di Indonesia menurunkan nilai musik ini di mata masyarakat kelas atas. Bagi kelas atas, musik ini kampungan. Yang tambah memberikan kesan buruk adalah perkembangan dangdut ke arah tarian atau gerakan yang sensual dan bahkan erotis.
Ini menyebabkan sebagian orang Indonesia mengaitkan musik ini bukan hanya dengan kebodohan dan sifat kurang canggih, melainkan juga dengan tontonan seksual yang tidak berkualitas.
Mencegah Punahnya Dangdut?
Dalam pembicaraan tentang perkembangan musik dangdut, Rhoma Irama dengan jelas menunjukkan perasaan tidak puasnya dengan perkembangan di beberapa dekade terakhir. Sambil meratapi asosiasi musik dangdut sekarang ini, ia menekankan bahwa hanya ada satu cara untuk bergoyang atau berjoget sesuai musik dangdut.
Dengan jengkel ia berdiri dan mendemonstrasikan cara joget yang benar. Menurut Rhoma, cara joget erotis yang barulah yang jelas menyebabkan menurunnya popularitas dangdut. Ia menekankan, "Setelah dangdut menjadi erotis, orang Indonesia mulai merasa terganggu. Siapapun yang melihat dangdut di TV akan segera mematikannya."
Gaya tarian Inul menyebabkan debat kontroversial tentang "kesehatan moral" rakyat Indonesia. MUI menggambarkan tarian Inul sebagai pornografi dan melarang pertunjukannya. Sebagai konsekuensinya, ia berambisi untuk mencegah punahnya dangdut. Ia mempunyai visi untuk mengadakan revolusi kedua musik dangdut, yaitu dengan menyokong dan membesarkan semangat band dangdut putranya, Sonet 2. Tujuannya adalah untuk menunjukkan perbedaan antara dirinya dan penyanyi dangdut seperti Inul Daratista dan ‘goyang ngebornya’ yang menjadi sangat populer tahun 2003.
Perkembangan dangdut hingga menjadi gerakan sensual dan kadang tarian erotis menyebabkan sebagian orang Indonesia mengaitkannya dengan kebodohan dan sifat kurang canggih serta tontonan seksual yang tidak bermutu.
Gaya tarian Inul menyebabkan debat kontroversial tentang ‘kesehatan moral’ rakyat Indonesia. Ulama senior Islam yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia, MUI menggambarkan tarian Inul sebagai pornografi. MUI menilai penampilan Inul sebagai ancaman bagi moral dan menjadi risiko bagi stabilitas sosial masyarakat Indonesia.
Sebagai hasilnya, MUI mengeluarkan fatwa terhadap Inul dan larangan bagi penyanyi dangdut itu untuk tampil di beberapa daerah di Indonesia. Tubuh Inul menjadi bahan diskusi politik dalam proses yang mengikutsertakan sejumlah isu penting tentang politik, kebudayaan dan nilai moral.
Dangdut Mulai Menghilang
Sejumlah surat kabar dan majalah beberapa waktu belakangan ini menerbitkan artikel yang mengatakan bahwa dangdut secara umum mulai menghilang. Ini adalah interpretasi yang menguatkan pendapat Rhoma Irama bahwa jumlah penggemar musik ini menurun. Kekhawatiran ini kemungkinan memang berdasar, jika orang memperhatikan program-program yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi Indonesia.
Dulu hampir semua stasiun televisi lama menyiarkan program dangdut karena tidak mau ketinggalan Inulmania. "Orang Indonesia suka sensasi," demikian diterangkan manajer produksi TPI, dan Inul memang jelas menjadi sensasi. Dengan gaya jogetnya, ia dalam sekejap sukses sebagai bintang.
Rhoma dan Ridho dan kelima anggota band Sonet 2 bertekad untuk memerangi perkembangan terakhir, yang tampaknya menyebabkan popularitas dangdut mulai memudar. Tetapi kemudian timbul Inul-Inul yang lain, seperti Dewi Persik dengan "goyang gergajinya" dan Annisa Bahar dengan "goyang patah-patah". Beberapa waktu kemudian, produk itu menjadi tidak istimewa lagi, dan sejumlah stasiun televisi, terutama yang mempunyai sasaran masyarakat kelas menengah dan atas, berpaling dan mencari penghibur lainnya. Akibatnya, sekarang hanya beberapa stasiun televisi menyiarkan acara musik dangdut.
Namun demikian, dangdut tetap menjadi jenis musik paling populer di Indonesia. Dangdut mempunyai jumlah rekaman paling besar, walaupun sebagian besar bajakan. Lebih dari dua pertiga rekaman dangdut diproduksi ulang secara illegal.
Ini menyebabkan kesulitan keuangan bagi perusahaan rekaman, yang sebagai akibatnya, berhenti memproduksi rekaman baru. Belakangan ini hanya sedikit album baru yang diterbitkan. Antara lain karena pembajakan CD, VCD dan DVD yang tak kunjung henti. Dangdut juga harus menghadapi persaingan keras dengan musik pop Indonesia.
Sonet 2 Menjadi Revolusi Kedua?
Rhoma dan Ridho dan kelima anggota band Sonet 2 bertekad untuk memerangi perkembangan terakhir, yang tampaknya menyebabkan popularitas dangdut mulai memudar. Yang jelas mereka sangat bersemangat untuk memperbaiki apa yang mereka anggap sebagai reputasi dangdut yang sudah usang.
Di samping itu, mereka berniat mencapai popularitas seperti halnya band-band pop dan rock Indonesia yang terkenal, seperti Slank, Dewa dan Peterpan. Mereka telah berupaya keras untuk mencapai tujuan ini. Mereka sering tampil dalam berbagai acara. Mereka juga telah mengeluarkan album pertama dan memproduksi videoclip pertama.
Album mereka yang berjudul Menunggu, berisi 10 lagu yang ditulis oleh Rhoma Irama. Band Sonet 2 memodifikasi lagu-lagu ini dengan menambahkan ritme drum pop yang dominan sebagai pengganti ritme instrumen perkusi India, yang disebut Tabla. Permainan gitar juga memberikan sentuhan musik rock yang lebih jelas bagi sebagian lagu-lagu tersebut.
Mereka kini sudah berhasil mendapat sejumlah besar penggemar. Jika segalanya berjalan mulus, mereka tidak hanya akan menjadi sebuah sensasi, melainkan akan sukses dalam membuka bab baru musik dangdut.
Sandra Bader
Alih bahasa oleh Marjory Linardy
© Inside Indonesia 2009/© Qantara 2009
Sandra Bader sedang menulis disertasi di bidang antropologi di Monash University, dengan tema musik dangdut di Indonesia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan